PITC
Alexaaa
Bertempat di Hotel
Mercure Banjarmasin, pada tanggal 14-17 maret 2016, Dinas Kesehatan Propinsi
Kalimantan Selatan mengadakan pelatihan PITC (Provider Initiated Counseling and Testing) bagi
petugas kesehatan, baik dokter, perawat, bidan maupun tenaga laboratorium. Pelatihan
yang berlangsung selama 4 hari ini, dihadiri kurang lebih 38 peserta, yang
berasal dari beberapa Rumah Sakit, Puskesmas dan Dinas Kesehatan di Kabupaten
kota, se-Kalimantan Selatan.Di Indonesia dan sebagian besar negara lain, telah diadakan program konseling dan tes HIV sukarela atau VCT (Voluntary Counseling and Testing). Program VCT ini dilakukan secara sukarela dan rahasia. Namun, karena sifatnya sukarela, VCT belum dapat menjaring terlalu luas. Masyarakat belum secara sukarela penuh untuk melakukan VCT karena minimnya pengetahuan, stigma masyarakat, serta perasaan malu dan takut. Hal ini tentu saja diperparah dengan suatu fakta bahwa gejala – gejala penyakit akibat infeksi HIV baru muncul setelah beberapa tahun terinfeksi HIV. Sehingga, para penderita HIV tidak merasa sakit sehingga menambah keengganan mereka untuk melakukan VCT ini.
Penerapan pola VCT yang dijadikan ujung tombak dalam tingkat penemuan kasus penderita HIV di Indonesia belum efektif sebab jangkauan layanan pemeriksaan HIV dengan program VCT masih terbatas. Terlihat dari kesenjangan antara estimasi jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia dengan jumlah orang dengan HIV/AIDS yang menjalani pemeriksaan dan mengakses obat antiretroviral (ARV) gratis dari pemerintah. Dengan mekanisme VCT, provider kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas dan tenaga medis lebih bersifat pasif. Pola VCT ini hanya menghimbau masyarakat secara sukarela untuk memeriksakan diri ke rumah sakit dan bersedia menjalani tes dan konsultasi sehingga penemuan kasus HIV di Indonesia dengan VCT sangat rendah karena stigma dan minimnya pengetahuan menyebabkan banyak orang yang enggan memeriksakan diri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa daya jangkau VCT kurang luas sehingga dibutuhkan konsep lain yang lebih baik.
Oleh karena berbagai
kekurangan dari VCT tersebut, konferensi AIDS Internasional ke-17 di Mexico
menghasilkan suatu usulan untuk mengganti program VCT menjadi PICT (Provider Initiated Counseling and
Testing). Program PICT ini memiliki daya jangkau lebih luas dari
VCT karena inisiatif tes berasal dari petugas kesehatan sehingga mampu
menghindari keterlambatan diagnosis. Peran provider kesehatan dalam PICT lebih
efektif karena merupakan penentu pelaksanaan program ini.
Bagaimana penerapan PICT
ini? Provider kesehatan berperan aktif untuk melihat apakah pasien bersangkutan
memiliki gejala-gejala terinfeksi HIV ataupun faktor risiko tinggi terpapar
HIV. Setiap pasien yang datang ke dokter dengan indikasi gejala-gejala infeksi
HIV dapat segera dideteksi apakah positif atau tidak sehingga deteksi dini HIV
dapat lebih efektif. Penderita penyakit yang memiliki kemungkinan menderita
HIV/ AIDS adalah penderita penyakit infeksi menular seksual (IMS),
tuberculosis, dan beberapa penyakit lainnya. Selain itu, provider kesehatan
juga dapat “menjemput bola” dengan mendatangi orang-orang yang memiliki risiko
tinggi tertular HIV, seperti WPS, lelaki pengguna WPS, homoseksual, pengguna
NAPZA suntik. PICT juga dapat disediakan sebagai salah satu asuhan keperawatan
sebelum melahirkan karena meningkatnya Mother
to Child Transmission (MTCT) pada beberapa tahun terakhir.
Surat izin (informed consent) dari
pasien tidak diperlukan untuk tes HIV dalam PICT ini. Program ini hanya
memberikan alternatif “opt-out” form, dimana pasien berhak menolak melakukan
tes HIV. Konsultasi sebelum tes (pre-test
counseling) juga tidak ada dalam PICT namun hanya ada konsultasi
setelah tes (post-test
counseling) sehingga keputusan untuk pemeriksaan HIV dapat lebih
cepat dilakukan. Walaupun begitu, hak asasi pasien tetap merupakan hal utama
dalam melaksanakan program ini. Keputusan untuk melaksanakan tes HIV merupakan
hak pasien sehingga pasien tetap dapat menolak dengan menulis surat penolakan
tindakan pemeriksaan HIV.